Sabtu, 07 Januari 2017

Dia adalah Isthiku

Namanya Isthiqonita. Jenis kelamin semi perempuan. Gadis yang sedang aku incar. Umurnya satu tahun tiga bulan lebih tua dariku. Baru kemarin makan sukro. Dan gasuka sama dus Tango, kalau aku pukul di kepalanya.
Dia asli Garut. Daerah yang hanya memiliki dua lampu merah dan Mall nya sebesar Griya Cinunuk. Anak bungsu dari enam bersaudara yang lahir dari rahim Ibunya yang berlogat sunda lemes. Supirnya suka panggil dia 'neng Isthi'. Kalau aku panggil dia sayang. Sayang, dia pendek. Kalau jalan bersamaan dan ngobrol dia setara dengan ketekku. Gapapa, aku pake deodorant.
Dia sangat menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan. Mungkin kalau dia hidup di zaman PKI, dia bakal ikut Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), bukan ikutan Pers Mahasiswa.
Sudah beberapa bulan kita deket. Hobinya nonton film barat. Dan gapernah beli pop corn. Katanya sih mahal. Mending dibeliin kosmetik Jafra kakak nya, itung-itung bantu. Tapi gamau di promosiin di Instagram pribadinya. Gatau kenapa. Aku saranin dia harus main sama Awkarin. Biar tau gimana caranya promosiin barang dengan like yang bejibun sambil foto udelnya keliatan.
Isthi sama seperti gadis Garut pada umumnya yang suka gengsi. Waktu itu, pernah kita jalan berdua di SC liat cewe abis ikutan lomba hijab. Mukanya lucu, rasanya pengen memiliki dia seutuhnya.
"Lucu banget dandanannya ya, pake kulot lagi, cocok banget" Kataku.
"Hmmmmm"
"Kok diem?"
"Gak"
"Sini aku rangkul"
"Rangkul aja sana cewe tadi yg kamu bilang dandanannya lucu!" Ucap Isthi kesal, dengan ekspresi muka oriental Malangbongnya.
Diamah gitu. Kalau cemburu suka diem. Sama kaya cewe yang lain. Ah, biasalah cewe. Cemburunya Lillahita'ala.
Beberapa hari kemarin kita pergi ke Gramedia, sebelumnya ATM kakaknya diblokir. Karena salah ngetik PIN katanya. Padahal cuman 6 digit, gimana kalau ngetik PIN banyaknya kaya asmaul husna coba. Dia panik, tapi lebih panik kalau liat aku senderan ke bahu cewe lain.
Isthi emang suka baca. Dikosan nya lebih banyak buku ketimbang kosmetik. Lebih mahal buku terbitan Ultimus: Sejarah Gerakan Kiri Indonesia ketimbang pembersih mukanya sendiri. Tapi ada satu kosmetik yang setara dengan buku itu. Lipstik nya seharga 200 ribu. Warnanya cerah. Kaya lampu merah di stopan Cicaheum. Ah, dia mah gitu. Lebih suka mempertebal membran otaknya dengan bacaan ketimbang mempertebal mukanya dengan bedak bayi Cusson Baby.
Itulah cara dia yang aku selalu suka sama Isthi. Dia pintar kalau kita lagi debat. Apalagi kalau masalah politik, gender dan pemberitaan media. Aku selalu kalah. Tapi kalau masalah milih warna kerudung, aku paling jago. Dia selalu sibuk ngurusin pemerintah, padahal kerudungnya sendiri masih sering menyon. Aku tertawa, sedangkan dia diam. Lagi nyiapin jawaban tandingan mungkin.
Katanya, dia ingin jadi Bupati Garut. Pilihan itu makin mantep ketika dia terpilih menjadi Pemimpin Umum Suaka. Kata dia, nyalon jadi PU udah dan kepilih, tinggal nyalon Bupati. Aku sering nyaranin dia buka Fotocopyan di Garut. Soalnya jarang. Dia kekeuh gamau. Aku saranin dia kerja di BNI. Seketika dia diam. Terus aku lanjutin omongan aku.
"Iya, mending kamu kerja di BNI. Bantuan Ngadagoan Imah" Dia ketawa. Sedangkan aku kecewa.
Aku selalu menyukainya, bukan karena dia pintar debat atau sering bahas Gus Dur ketika lagi makan berdua. Karena dia bisa jadi lebih baik lagi. Bukan lebih baik dari oranglain, melainkan lebih baik dari dirinya yang sebelumnya.
Bagi dunia, dia hanyalah seseorang. Tapi bagi seseorang, dia adalah dunianya. Duniaku.

Rndy. 20thn. Keahlian: tahan disakitin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar